LAPORAN
PENDAHULUAN
I. Kasus/Masalah utama : Halusinasi
II. Proses terjadinya masalah
A.
Definisi
·
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan
melibatkan panca indera (Isaacs,
2002).
·
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi
panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem
penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan
baik (Nasution, 2003).
·
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan
persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi atau
suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar atau suatu
penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus
eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
·
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya
rangsangan dimana klien merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan
rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera
tersebut (Izzudin, 2005).
·
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau
bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai
klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut (Stuart,
2007).
B.
Jenis-Jenis
Halusinasi :
Menurut Stuart (2007) halusinasi terdiri dari tujuh
jenis.
·
Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk
kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang
klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien
disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.
·
Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan
yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau menakutkan
seperti melihat monster.
·
Penghidu
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan
yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor,
kejang, atau dimensia.
·
Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
·
Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum
listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
·
Cenestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine.
·
Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
C.
Data
penunjang
Menurut Hamid
(2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
Ø
Bicara sendiri.
Ø
Senyum sendiri.
Ø
Ketawa sendiri.
Ø
Menggerakkan bibir tanpa suara.
Ø
Pergerakan mata yang cepat
Ø
Respon verbal yang lambat
Ø
Menarik diri dari orang lain.
Ø
Berusaha untuk menghindari orang lain.
Ø
Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
Ø
Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
Ø
Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
Ø
Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
Ø
Sulit berhubungan dengan orang lain.
Ø
Ekspresi muka tegang.
Ø
Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
Ø
Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
Ø
Tampak tremor dan berkeringat.
Ø
Perilaku panik.
Ø
Agitasi dan kataton.
Ø
Curiga dan bermusuhan.
Ø
Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
Ø
Ketakutan.
Ø
Tidak dapat mengurus diri.
Ø
Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Nasution (2003),
seseorang yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang
khas yaitu:
Ø
Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
Ø
Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
Ø
Gerakan mata abnormal.
Ø
Respon verbal yang lambat.
Ø
Diam.
Ø
Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
Ø
Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya
peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah.
Ø
Penyempitan kemampuan konsenstrasi.
Ø
Dipenuhi dengan pengalaman sensori.
Ø
Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan
realitas.
Ø
Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya
daripada menolaknya.
Ø
Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
Ø
Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
Ø
Berkeringat banyak.
Ø
Tremor.
Ø
Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
Ø
Perilaku menyerang teror seperti panik.
Ø
Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
Ø
Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan
agitasi.
Ø
Menarik diri atau katatonik.
Ø
Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks.
Ø
Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
D.
Penyebab
masalah utama
Menurut Stuart
(2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
1. Faktor predisposisi
a.Biologis
Abnormalitas
perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang
maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang
berikut:
1.
Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang
lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal
dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
2.
Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
3.
Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks
bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak
tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
b.
Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam
rentang hidup klien.
c.
Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi
Secara
umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan
yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak
berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut
Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran
balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress
lingkungan
Ambang
toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping
mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
E.
Akibat
Klien yang mengalami
halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal ini terjadi jika halusinasi sudah
sampai pada fase empat, dimana klien mengalami panik dan perilakunya
dikendalikan oleh isi halusinasinya.
III. Pohon masalah
Resiko mencederai diri / orang lain/ prilaku kekerasan
|
Gangguan persepsi / sensori : halusinasi
|
Isolasi sosial / menarik diri
|
Faktor
presdisposisi
Tahapan halusinasi
Tahapan
terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan setiap
fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
a.
Fase I :
Klien
mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut
serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan
ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan
lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
b.
Fase II :
Pengalaman
sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin
mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini
terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti
peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah),
asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
halusinasi dengan realita.
c.
Fase III :
Klien
berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada
halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada
dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan
orang lain.
d.
Fase IV :
Pengalaman
sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini
terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon
terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.
Kondisi klien sangat membahayakan.
IV. Diagnosa keperawatan
1.
Perubahan sensori persepsi : halusinasi
2.
Isolasi sosial : menarik diri
V.
Rencana
Tindakan Keperawatan
Diagnosa I : perubahan sensori persepsi halusinasi
Tujuan
umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang
lain dan lingkungan
Tujuan khusus :
1.
Klien dapat membina hubungan
saling percaya dasar untuk kelancaran hubungan interaksi seanjutnya
Tindakan :
1.1 Bina hubungan saling percaya dengan
menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dengan cara :
a.
Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b.
Perkenalkan diri dengan sopan
c.
Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d.
Jelaskan tujuan pertemuan
e.
Jujur dan menepati janji
f.
Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2.
Klien
dapat mengenal halusinasinya
Tindakan :
2.1
Adakan kontak sering dan
singkat secara bertahap
2.2
Observasi tingkah laku klien
terkait dengan halusinasinya: bicara dan tertawa tanpa stimulus memandang ke
kiri/ke kanan/ kedepan seolah-olah ada teman bicara
2.3
Bantu klien mengenal halusinasinya
a.
Tanyakan apakah ada suara yang didengar
b.
Apa yang dikatakan halusinasinya
c.
Katakan perawat percaya klien mendengar suara itu , namun perawat
sendiri tidak mendengarnya.
d. Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti itu
e. Katakan bahwa perawat akan membantu klien
2.4
Diskusikan dengan klien :
a.
Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
b.
Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore,
malam)
2.5
Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi
(marah, takut, sedih, senang) beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannya
3.
Klien dapat mengontrol halusinasinya
Tindakan :
3.1
Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika
terjadi halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
3.2
Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika
bermanfaat ber pujian
3.3
Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol
timbulnya halusinasi:
a.
Katakan “ saya tidak mau
dengar”
b.
Menemui orang lain
c.
Membuat jadwal kegiatan sehari-hari
d.
Meminta
keluarga/teman/perawat untuk menyapa jika klien tampak bicara sendiri
3.4
Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasinya secara
bertahap
3.5
Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih
3.6
Evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil
3.7
Anjurkan klien mengikuti TAK, orientasi,
realita, stimulasi persepsi
4.
Klien mendapat dukungan dari
keluarga dalam mengontrol halusinasinya
Tindakan :
4.1
Anjurkan klien untuk
memberitahu keluarga jika mengalami halusinasi
4.2
Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat kunjungan rumah):
a.
Gejala halusinasi yang dialami klien
b.
Cara yang dapat dilakukan klien dan keuarga untuk memutus
halusinasi
c.
Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah, diberi
kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama
d.
Beri informasi waktu follow up atau kenapa perlu mendapat bantuan
: halusinasi tidak terkontrol, dan resiko mencederai diri atau orang lain
5.
Klien memanfaatkan obat dengan
baik
Tindakan :
5.1
Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan
manfaat minum obat
5.2
Anjurkan klien meminta
sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya
5.3
Anjurkan klien bicara dengan
dokter tentang manfaat dan efek samping minum obat yang dirasakan
5.4
Diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi
5.5
Bantu klien menggunakan obat
dengan prinsip 6 benar.
Diagnosa II : isolasi sosial menarik diri
Tujuan umum : klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi: halusinasi
Tujuan khusus :
1.
Klien dapat membina hubungan
saling percaya
Tindakan :
1.1.
Bina hubungan saling
percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi,
ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan dengan jelas tentang topik,
tempat dan waktu.
1.2. Beri
perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak menjawab.
1.3. Dengarkan
dengan empati: beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru, tunjukkan bahwa
perawat mengikuti pembicaraan klien.
2.
Klien dapat menyebutkan
penyebab menarik diri
Tindakan :
2.1 Kaji pengetahuan klien tentang perilaku
menarik diri dan tanda-tandanya
2.1. Beri kesempatan kepada
klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau mau bergaul
2.1. Diskusikan bersama klien tentang perilaku
menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang muncul
2.1. Berikan pujian terhadap
kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
3.
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan
berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan :
3.1
Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan
dengan orang lain
a.
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan prang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
3.2
Kaji pengetahuan klien
tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
a.
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan
orang lain
b.
Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain
4.
Klien dapat melaksanakan
hubungan sosial
Tindakan :
4.1 Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
4.2 Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain
melalui tahap :
§ K – P
§ K – P – P lain
§ K – P – P lain – K lain
§ K – Kel/Klp/Masy
4.3 Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
4.4 Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
4.5 Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
4.6 Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
4.7 Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
5.
Klien dapat mengungkapkan
perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain
Tindakan :
5.1 Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang
lain
5.2 Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang
lain
5.3 Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan dengan oranglain
6.
Klien dapat memberdayakan
sistem pendukung atau keluarga
Tindakan :
6.1
Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
§ Salam, perkenalan diri
§ Jelaskan tujuan
§ Buat kontrak
§ Eksplorasi perasaan klien
6.2
Diskusikan dengan anggota
keluarga tentang :
§ Perilaku menarik diri
§ Penyebab perilaku menarik
diri
§ Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
§ Cara keluarga menghadapi
klien menarik diri
6.3
Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien
untuk berkomunikasi dengan orang lain
6.4
Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk
klien minimal satu kali seminggu
6.5
Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai
oleh keluarga
DAFTAR PUSTAKA
1.
Stuart GW, Sundeen, Buku Saku
Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC, 1995
2.
Keliat
Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
1999
3.
Keliat BA. Asuhan Klien
Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri. Jakarta : FIK UI. 1999
4.
Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC.
1999
5.
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan
Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003
6.
Tim
Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung,
RSJP Bandung, 2000