Assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum
Salam Ukhwah... Mari berbagi kisah

Selasa, 23 Maret 2010

Surga untuk mak atun

Adakah yang lebih indah dalam hidup selain bercengkrama dengan orang-orang terkasih, bersenda gurau, di temani secangkir teh hangat, menikmati damainya pagi, celoteh burung-burung menjadi peramai ketika sebuah keluarga berkumpul bersama. Boleh jadi riangnya kupu-kupu bersayap pelangi yang setiap harinya berkejaran ditaman mengalahkan kemesraan bahtera yang telah berlayar berpuluh-puluh tahun. Ya…….. mungkin itulah yang selalu mak atun rindukan. Ntah kapan terakhir ia bersenandung untuk putra-putrinya, membacakan dongeng sebelum si bungsu terlelap, atau menyiapkan sarapan untuk kekasih hati sebelum bergegas pergi mencari nafkah bagi keluarganya.

Kehidupan memang metafase yang tak pernah kita tau bagaimana rupanya kelak. Atau perjalanannya tanpa peta yang dapat menunjukkan arah kaki melangkah ke barat, ke timur, selatan, ataupun utara. Oh........ inilah takdir bagi wanita tua, tinggal di sebuah rumah beratapkan daun ilalang, mungkin lebih layak disebut gubuk reot, renta. Karena apabila langit menumpahkan bulir-bulir, tentu saja menggenangi lantai gubuk milik mak atun. Namun......Seperti apapun keadaan mak atun, ia tak pernah mengeluh, tak pernah bersedih, ataupun meminta bantuan pada orang-orang disekitarnya. Tah... kehidupan didunia hanyalah persinggahan, layaknya minibus yang berjalan, sesekali berhenti, sesekali melewati jalan yang terjal, bebatuan, sesekali lurus tanpa aral, namun pada akhirnya akan berhenti disebuah terminal yang memang telah ditetapkan sebagai tujuan akhir. Hidup bukan tempat untuk menimbun rupiah, ataupun tempat untuk berlomba-lomba menjadi pemilik permata terbanyak di dunia ini. Kalaupun ada kesempatan untuk memohon, maka hanya satu permintaannya, kelak saat ia terbang kelangit ditemani malaikat-malaikat yang katanya bersayap lebar, orang-orang terkasihnyalah yang ingin ia temui.

Bukankah aroma melati masih lembut tercium? Bukankah air masih segar ketika membasahi kerongkongan? Bukankah mentari masih memberikan kehangatannya dengan Cuma-Cuma? Bukankah rembulan masih memberikan cahayanya setiap malam ia terlelap? Sepertinya tak ada alasan bagi mak atun untuk bergegas mengakhiri hidup dalam kesendiriannya. Meski gubuk ini bukanlah tempat pertama kali ia mendayuh perahu bersama selir hatinya, meskipun tempat ini bukanlah tempat dimana ia mengajari anak-anaknya berjalan, berbicara, dan bersama tertawa riang, tapi bagaimanapun di tempat inilah ia belajar arti keikhlasan yang sedalam-dalamnya, kesabaran tanpa batas, perjuangan tanpa keluh. Di gubuk inilah ia menyibukkan diri memasak berbagai macam menu untuk mengisi warung makan yang menjadi sumber penghidupannya. Ya........ kepiawaian mak Atun dalam menyajikan makanan yang membuat pelajar-pelajar, ibu-ibu, bapak-bapak di sekitarnya kecanduan dengan cita rasa yang ia ciptakan dengan penuh ketulusan. Bahkan tak sedikit kuli-kuli yang bekerja membangun sebuah Rumah besar dan ruko milik salah satu pejabat, merekapun turut menjadi pelanggan setia mak Atun, di tambah lagi mereka diperbolehkan makan terlebih dahulu, dan membayarnya setelah para kuli tersebut mendapat gaji. Namun tak jarang juga mereka yang melupakan perihal hutangnya pada mak atun, atau tak sedikit pula yang berkilah menunda-nunda pembayaran, dengan seribu alasan ”anak saya mau bayaran sekolah mak....” atau ”isteri saya sakit mak.....” dan masih banyak alasan-alasan lainnya. Ya ........ mak Atun tetaplah mak Atun, tak suka marah, tak mau mencerca sekalipun ia yang di sakiti ataupun di rugikan, baginya sselagi mampu membantu, tak ada salahnya membantu.

Malam semakin larut...... angin berhembus kencang, udara sangat dingin, Hanya dengan selendang koyak yang menutupi badan ringkihnya. sesekali gemuruh menyapa, malam ini bulan tak tampak terlihat diluaran sana, suara jangkrik yang biasanya bersahutan tak lagi terdengar, mungkin jangkrikpun takut dengan kilat yang kilauannya seperti hendak menyambar, keadaan seperti ini yang membuat mak Atun tak bisa mengelak mengenang kejadian yang telah ia ikhlaskan dengan hati yang lapang, kejadian yang memisahkan dirinya dengan suami dan anak-anak tercinta. Hujan yang mengguyur tanpa iba, air sungai yang biasanya tenang, ikut memberontak, mungkin meluapkan amarah terhadap kejahilan tangan-tangan manusia, sampah-sampah yang tertimbun, turut serta menggenangi, suara histeris bersahutan tanpa henti, ada yang berdoa kepada Tuhan, ada yang meraung-raung, ada yang sibuk memanggil sanak saudaranya, dan mereka semua sibuk berlarian menyelamatkan dirinya. Tapi ntahlah... mungkin ini memang takdir yang harus dialami mak Atun, karena dalam keluarganya hanya mak Atun seorang yang terselamatkan dan sempat keluar dari pintu rumah, setelah itu rumah mak Atun Rata, nyawa suami dan anak-anaknya tak terselamatkan lagi.

”Ya Allah............” teriakan dari luaran sana terdengar......... ada juga suara-suara memanggil anak ataupun emaknya, rusuh......... semua berlarian keluar, badai yang melanda, di temani hujan yang semakin deras, peristiwa itu kembali terjadi........ tapi mak Atun tak sadarkan diri, ia masih terpana dengan kejadian silam...........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar