Assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum
Salam Ukhwah... Mari berbagi kisah

Rabu, 08 Desember 2010

LARA

LARA
Rismalia Az-zahra

Di taman ini, ku hela nafas kesunyian yang terbata-bata, menikam suara hati, agar tak lagi sekedar menjadi bayangan dalam keheningan. Beberapa tahun silam, di tempat ini, kita nikmati kabut bersama angan-angan yang tak terlabuhkan. Sepasang janji setia menjadi denting harpa yang gemerincingnya berperan sebagai penghapus duka. Dan beberapa tahun silam, di taman ini, kau peluk erat tubuhku, kau letakkan tanganmu di dadaku, kau hapus air mataku, kau bisikkan,“urat nadiku senantiasa merindu keberhasilanmu, pergilah… aku menantimu di taman ini.”
***
Aku sadar, kau selalu mengalah untukku. Pernah suatu ketika kau melepas sepatumu untukku, kau berikan sepatu kesayanganmu untukku, padahal sepatu itu adalah hadiah ulang tahun bunda Murni untukmu.
“Pakailah Din, kau hari ini membutuhkan sepatu ini, mana mungkin kau ikut olimpiade, tapi sepatumu koyak seperti itu. Biarlah aku yang memakai sepatumu” katamu waktu itu.
Aku tak bisa menolak, ya… karena kau memang tak pernah mau melihatku susah dan bersedih.



Lara… ku harap namamu tak seperti takdirmu. Ingin sekali aku yang menjadi pahlawan untukmu, tidak kau selalu. Kita memang dibesarkan di tempat yang sama, “Panti Asuhan Warna Pelangi”, apa yang kau makan, itu yang ku makan, apa yang ku kerjakan, kau selalu membantuku. Bahkan, kau lebih sering mengerjakan tugasku.
Pernah suatu ketika bunda Murni menasihatimu, “Lara… biarlah Dinda yang menyelesaikan tugasnya, kaupun butuh istirahat”.
“Tak apa Nda, lagian Dinda harus belajar lebih, ia harus mendapatkan biasiswa untuk kuliah. Kan kalau Dinda berhasil, adik-adik disini juga ikut senang” jawabnya, sambil tersenyum dan terus melanjutkan pekerjaan.
***
Dan, perasaan cintaku padamu bukanlah hanya sekedar lisan yang pernah ku ucap, ketika malam kian merangkak, bulan bintang saksi penuturanku. Kau tau kekuranganku, kau tau kelemahanku, hingga akhirnya kau kuatkan aku, kau sirami aku dengan kata yang menyegarkan lorong-lorong hatiku.
***
Lara… bukankah di taman ini tempat kita melukis wajah di mega-mega? Kau tak sekedar teman seperjuanganku, menghabiskan waktu dengan kehinaan, menghabiskan waktu dengan cacian, menghabiskan waktu dengan kepedihan, menghabiskan waktu dengan sebutan ‘Yatim Piatu’. Tapi, kita tak pernah sibuk membicarakan, “Dimana ibu bapak kita? Seperti apa rupa mereka?”. Karena kebersamaan kita telah mengganti asa menjadi kasih yang semerbak.



Hari ini, ingin rasanya ku ulangi masa kanak-kanak kita, berlarian mengejar kupu-kupu berwarna emas. Ya.. aku ingat, kau paling takut dengan cacing, maupun ulat yang ada di dahan-dahan. Dengan kejahilanku, tak jarang ku membuatmu menangis ketakutan, hingga akhirnya kau mengaku kalah. Dan aku terbahak melihat ekspresimu kala itu. Aku ingat sekali, kita sering lari sampai terjatuh karena mencuri mangga milik Pak Somat. Canda kita yang meramaikan gubuk sederhana itu, tempat kita dibesarkan, tempat kita belajar memaknai hidup, tempat kita menghabiskan waktu dengan adik-adik yang senasib dengan kita, tempat kita membantu bunda Murni membuat kripik untuk kita jual di sekolah.
Yang indah… kebersamaan kita.
***
Dan, untuk pertama kalinya aku harus berpisah denganmu, aku tak habis fikir, kau justru tersenyum indah untukku. Sempat terbersit di hatiku, kau tersenyum senang, ya… supaya kau dapat menjadi anak kesayangan bunda Murni kan?
Dan kata-katamu terakhir saat itu adalah, “Dinda, jika kau nikmati sepi, maka.. itulah aku..”
Aku hanya terdiam, karena saat itu fikiranku buruk terhadapmu. Maafkan aku Lara…
***
Maka, ku benarkan bahwa Menggapai cita tak sesingkat bunga di taman. Yang mulai menguncup lalu beberapa hari kemudian merekah. Karena padanya butuh kesabaran, butuh keseriusan, dan butuh ketekunan.
Hari-hari di Perantauan, tahun pertama tak jarang kau mengirim surat untukku. Namun di tahun berikutnya, aku jarang membalasnya. Kau pun memaklumi kesibukkanku. Karena kau tau, aku tengah meraih apa yang pernah kita gantungkan di ranting-ranting harapan. Sekarang akupun tau Lara, mengapa kau katakana, ‘sepi itu aku’.
Karena setiap ku merasakan sepi, kau hadir untukku, mengurai letih yang melekuk tubuhku, mengikis duka yang mendesir di dasaran hatiku. Dengan mengenang kebersamaan kita, maka lukaku terobati, hatiku menjadi damai, dan seolah kau kobari Semangat yang membara. Aku akan sukses untukmu, membawa gelar sarjana, dan lulusan terbaik, menjadi motivasi adik-adik, membahagiakan bunda Murni. Itu maumu kan?
Aku tak ingin mengecewakanmu tentunya, karena ku sadar, hanya itu yang dapat ku lakukan untukmu, membuatmu sumringah menatap kehidupan. Aku memang tak bisa menjadi pahlawan yang memberi sepatu untukmu sekolah, aku tak bisa menjadi pahlawan yang membantumu menyelesaikan tugas rumah, aku tak bisa sepertimu yang selalu mengalah. Dan ini caraku, menunjukkan cinta padamu.
***
Tapi ada yang membuatku sangat marah Lara, mengapa tak kau ceritakan perihal sakit yang memvonismu untuk tak lama bertahan hidup?
Mengapa tak pernah kau ceritakan, bahwa kau mengalami kanker otak?
“Maafkan bunda Din, bunda tak bermaksud menyembunyikan semua darimu. Tapi ini permintaan Lara, ia tak ingin mengganggu studimu”
Bodoh sekali dirimu Lara, mana mungkin sedikit waktu untukmu mengganggu studiku. Ingin rasanya aku marah padamu Lara.
“Lara sangat menyayangimu Dinda, bunda sampai terharu mendengar cerita-ceritanya, tahukah kau, mengapa ia begitu menyayangimu?” kata bunda kala itu. Aku terdiam, tak sepatah katapun keluar dari bibirku. Sungguh kelu saat itu, nanar hatiku tak tertahan lagi.
“Katanya, kaulah orang yang paling sering menyelimutinya ketika ia tertidur, karena itu, ia merasa kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Kau yang paling sering membangunkannya untuk Sholat malam, karena itu, ia merasa nasihat seorang ibu pada anaknya. Kau pernah melindunginya ketika ia di ganggu oleh teman laki-laki kalian di sekolah” sambung bunda sambil terisak.
Lara… aku tak sebaik itu, kau jauh lebih baik. Kau tak hanya memerankan sebagai seorang sahabat, tetapi saudara, bahkan orang tua untukku.
“Kenangan kalian sangat berharga baginya Dinda, oleh sebab itu, sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia berpesan untuk di kuburkan di taman ini” Isak Bunda menjadi, sambil menabur bunga di atas pusaran.

Lara… kini aku telah kembali di taman ini, Nisankah yang kau jadikan hadiah untuk menyambut keberhasilanku?
Lara… lihatlah aku, aku telah menjadi seorang sarjana, seperti apa yang kau mau. Bahkan aku telah mendapat pekerjaan tetap, tapi mengapa kau tak berkenan melihatku?
***
Di taman ini, akan terulang kisah, ketika air mata berderai, yang membedakan hanyalah aku seorang diri, tanpa ragamu... tapi namamu takkan pernah lekang. Karena kenanganmu terbingkai indah di beranda hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar